Rabu, 24 Oktober 2012

Agama Sebagai Komoditas Politik: Persoalan Etika dan Moral


Penggunaan agama sebagai salah satu alat berpolitik masih marak terjadi sekarang ini. Bukan hanya oleh lembaga-lembaga yang memiliki orientasi kegiatan keagamaan, namun juga oleh individu-individu, baik yang memang berada dalam lembaga keagamaan ataupun individu pemeluk agama. Terkadang, persoalan ini malah justru sering menyulut konflik di antara para pemeluk agama ataupun lembaga-lembaga keagamaan tertentu dan ahhirnya eskalasinya membesar dan menjadi konflik sosial.

Persoalan isu agama ini, ketika digunakan oleh seorang individu dalam konteks kegiatan politiknya, memang tidaklah melanggar hukum. Namun begitu, persoalan etika dan moral menjadi muncul dalam hal ini, terkait pada moral dan integritas yang bersangkutan, apalagi individu tersebut memang bergerak di ranah kehidupan sosial masyarakat dan politik. Apalagi yang kerap terjadi adalah inkonsistensi perbuatan yang dilakukan individu dengan pernyataan dan pemahaman keagamaan yang ditunjukkannya pada publik. Di sinilah persoalan etika dan moral tersebut muncul dan menjadi salah satu hal yang mendegradasi ideologi keagamaan dalam politik, baik secara individual maupun secara komunal, partai politik misalnya.

Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan praktek politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang, seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat sementara dan sesaat.

Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah. Tidak usah dalam hajatan besar, pada hajatan-hajatan politik kecil tertentu pun terkadang hal tersebut kerap kali terjadi. Misalnya dengan melakukan beberapa ritual agama tertentu sebelum terjadi sebuah proses kontestasi politik. Ataupun misalnya mencitrakan diri sebagai pemeluk agama tertentu, namun sebetulnya jiwa dan hatinya lebih kuat menganut agama yang lain. Ini menjadi persoalan karena menyangkut kredibilitas dan etika moral si individu tersebut.

Fenomena tentang agama di Indonesia yang kerap kali digunakan sebagai alat untuk mencari suara terbanyak dalam mencari suara sebanyak-banyaknya, memang bertujuan untuk merebut legitimasi kekuasaan dan politik yang lebih kuat. Secara hermeunitis pun sudah jelas tersirat bahwa agama itu berarti teratur. Dari arti tersebut tentunya agama ini telah menjadi sebuah alat yang mengatur wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Ketika agama ini dijadikan alat politik tentunya sifat yang sebenarnya ada dalam agama itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Agama hanya menjadi sebuah simbol yang bisa menarik sebanyak-banyaknya suara pemilih. Ketika seorang petinggi politik misalnya ingin menggunakan sebuah simbol agama mayoritas yang ada di Indonesia, kemungkinan besarnya dia betujuan untuk mendapat dukungan banyak dari penganut agama tersebut. Persoalan besar akan timbul ketika individu tersebut tidak secara konsisten melaksanakan ajaran-ajaran agama yang digunakannya tersebut dan malah menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut.

Di sisi inilah seharusnya para penggiat kegiatan sosial dan politik bisa diuji, apakah memang mereka mau memegang konsep etis dan moral dalam melakukan kegiatannya di ranah sosial dan politik tersebut, serta bertingkah laku secara konsisten dengan pernyataan-pernyataan dan apa yang ditunjukkan olehnya ke publik selama ini, baik dalam hal nilai-nilai yang diperjuangkannya maupun nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Sehingga politik dengan dasar etika dan moral yang universal bisa terus terpelihara dan tidak terdegradasi sebagai nilai perjuangan sosial dan politik, hanya karena para pelakunya tidak konsisten memegang nilai-nilai tersebut.

Konsistensi antara perbuatan dan tingkah laku dengan nilai moral dan etis yang dinyatakan telah dipegang teguh, harus menjadi acuan mereka dalam melakukan semua tindakan dan kegiatan mereka dalam berpolitik maupun segala macam kegiatan sosial sehari-hari. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai agama dan universal yang menjadi ukuran etis seseorang dalam berpolitik dan kehidupan sosialnya tidak terdegradasi menjadi komoditas politik semata yang justru memicu penolakan dari masyarakat untuk juga memegang teguh nilai dan etika tersebut sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sosial dan peradabannya.

Lampung Butuh Renstra Pendidikan


Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlakmulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sementara itu dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan,pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan terlahir manusia Indonesia yang mampu bersaing di era globalisasi bercirikan high competition. Tetapi ini akan terjadi jika pendidikan didukung oleh sarana dan prasaranan yang baik.

Sekolah yang  sejatinya sebagi tempat transfer ilmu dari para guru kepada murid sebaiknya menunjang pemberian ilmu tersebut dengan berusaha memberikan ilmu tersebut secara lengkap dan menyeluruh sesuai dengan kurukulum yang sedang berlaku.

Tapi sayangnya kondisi saat ini banyak sekolah terutama di daerah terpencil yang masih banyak dalam masalah. Pelayanan pendidikan baru dalam tahap sekedar ada saja. Salah satu masalah pendidikan di Lampung adalah terkait penyebaran tenaga pendidik yang tidak merata terutama untuk daerah-daerah terpencil. Hal ini harus segera dibenahi oleh institusi terkait dalam hal ini dinas pendidikan karena ini akan berpengaruh terhadap peningkatan pemerataan kualitas pendidikan.

Kasus terakhir terjadi di Lampung Selatan. Di salah satu sekolah dasar di desa Neglasari yang hanya memiliki dua guru yang berstatus pegawai negeri sipil. Fakta ini jelas menunjukkan bagaimana pelayanan pemerintah dalam pendidikan terutama bagi daerah terpencil masih kurang dirasakan.

Fakta di atas adalah situasi yang kontras dengan salah satu sasaran pembangunan daerah yaitu Meningkatkan ketersediaan sarana pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya sangat signifikan dalam mencapai kemajuan diberbagai bidang kehidupan.

Karena itu pemerintah daeerah memiliki kewajiban dalam memenuhi setiap kewajiban warga negara untuk memperolah pelayanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali baik itu masyarakat perkotaan maupun masyarakat di pedesaan yang terkecil.

Seperti yg telah diketahui bahwa alokasi dana anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2012 Provinsi Lampung hanya 10% dari total anggaran. Hal ini semua dikatakan karena kondisi keuangan Lampung belum mampu memenuhi ketentuan 20% anggaran pendidikan yang diamanatkan undang-undang. Dengan kata lain dana tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dunia pendidikan di Lampung saat ini. DPRD dan Pemprov Lampung sepakat APBD Lampung 2012 sebesar Rp2,809 triliun.

Sebesar Rp283 miliar lebih dialokasikan untuk pendidikan. Dinas Pendidikan mengelola kurang lebih Rp222 miliar, sisanya tersebar pada sembilan satuan kerja yang lain. Sebetulnya sudah ada peningkatan pengalokasian anggaran pendidikan dibanding tahun lalu. Pada APBD murni 2011 hanya menganggarkan 9% dari total jumlah dana yang ada atau sekitar Rp202 miliar. Namun peningkatan tersebut tidaklah terlalu memiliki hasil yang signifikan mengingat angka partisipasi sekolah pada pendidikan tingkat menengah belum mencapai angka 90%.

Mutu pendidikan yang baik hanya bisa dicapai dengan adanya tenaga penagajar yang memiliki kompetensi dan keahlian dibidangnya. Jika penyebaran tenaga pengajar masih kurang merata maka akan sulit tercapai kesamaan dalam proses belajar-mengajar. Ke depan, Dinas pendidikan harus bisa melakukan pemetaan dan melakukan pemerataan penyebaran guru-guru. Dengan begini maka sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pendidik akan diketahui dan bisa segera diambil solusinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, anehnya, sejak tahun 2005 hingga sekarang Lampung belum memiliki Rencana Strategis bidang pendidikan. Maka tak aneh jika indikator keberhasilan bidang pendidikan melorot terus menerus karena berjalannya proses pembangunan bidang pendidikan di Lampung tidak berdasarkan pada rencana strategis yang jelas dan terarah.

Berdasarkan data dari capaian kinerja pembangunan provinsi Lampung Tahun 2011, pada bidang pendidikan, kita bisa melihat bahwa angka tingkat partisipasi sekolah mencapai 98,7% jenjang SD, 86,62% jenjang SMP dan 51, 34% SMA. Dari data tersebut bisa kita simpulkan bahwa tingkat partisipasi tertinggi adalah pada Sekolah Dasar. 99% anak usia Sekolah Dasar di Provinsi Lampung bersekolah. Untuk anak usia SMP, 87% yang bersekolah dan 13% yang tidak bersekolah. Yang paling kecil adalah anak usia SMA, yaitu hanya 51% yang bersekolah dan ini berarti 49% anak usia SMA tidak bersekolah di Lampung.

Untuk kondisi ini mungkin yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi adalah Bantuan Operasional Sekolah pendamping dari provinsi segera digulirkan dan ditingkatkan hingga tingkat partisipasi sekolah anak usia SMA di Lampung bisa mencapai 90%. Dan penggunaannya tetap harus diawasi dengan ketat agar memang bisa tepat guna dan digunakan secara efektif dan efisien.

Yang lebih miris lagi ditemukan fakta bahwa Provinsi Lampung tidak memiliki peta fasilitas pendidikan yang merupakan gambaran nyata kondisi sekolah di masing-masing kecamatan di daerah itu. Karena itu, hingga saat ini kita mengalami kesulitan untuk tahu berapa kondisi dan jumlah sekolah yang ada pada suatu kecamatan di wilayah tertentu.  Kondisi ini menyebabkan Dinas Pendidikan (Disdik) Lampung seolah terkesan tidak pernah melakukan perbaikan terhadap bangunan fisik sekolah yang rusak, hingga mengorbankan proses belajar mengajar akibat kerusakan itu. Untuk itu Dinas Pendidikan Lampung harus memprioritaskan pemetaan tersebut untuk lebih memudahkan pencapaian target pemerataan pendidikan.

Fenomena yang ada selama ini memperlihatkan bahwa pemerintah telah melanggar akan kewajiban memenuhi hak memperoleh pendidikan warga negaranya, yang merupakan hak dasar yang diatur dalam hukum nasional dan hukum internasional. Masih banyak anak-anak di daerah jauh dari keterjangkauan kota yang belum mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, akibat tidak sampainya anggaran pendidikan ke tangan sekolah secara maksimal, ucapnya. Anggaran pendidikan yang dinaikkan kurang lebih Rp19 triliun secara nasional pada 2012, yaitu dari 266,9T tahun 2011 menjadi 286,6T tahun 2012, seharusnya dapat menjadi modal dasar untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Jadi rencana strategis bidang pendidikan menjadi sangat penting walaupun memang ini bukanlah alat mengatasi masalah pendidikan. Namun, dengan adanya rencana strategis pendidikan, masalah-masalah yang dihadapi tersebut bisa terpetakan dan langkah strategis pemecahan masalah dapat dilakukan tidak sporadis, tetapi tearah dan bertahapan.