Rabu, 03 April 2013

CALEG DPR- RI DAPIL 1 LAMPUNG

                                                    
                                                

Sabtu, 09 Maret 2013

Agenda Politik Perempuan: Merebut Kursi & Prestasi


Peran perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia selalu menarik untuk diperdebatkan. Apalagi dalam sebuah masyarakat yang memiliki sejarah budaya patriarki yang sangat kuat, peran dan partisipasi politik perempuan terasa perlu untuk terus didorong naik ke permukaan. Bagaimana stereotip terhadap perempuan sebagai kaum yang selalu dianggap lemah, tidak patut mengatur dan memimpin, tidak memerlukan pendidikan tinggi karena hanya akan berada di rumah, dan sebagainya itu mendegradasi dan terus menihilkan peran perempuan dalam kehidupan sosial politik dan kepemimpinan dalam masyarakat.

Partisipasi politik perempuan tersebut, seyogyanya tidak melulu harus dilekatkan dengan keterlibatan secara personifikasi kaum perempuan dalam sturuktur politik baik dalam sakala nasional maupun lokal.  Namun yang lebih subtantif yang harus dilihat adalah sejauh mana elektabilitas dari legitimasi konstutisional mampu mengakomodir hak-hak kaum perempuan, salah satu yang paling krusial dalam hal ini adalah hak memilih dan dipilih dalam struktur kehidupan sosial  politik masyarakat.

Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik selalu merupakan isu utama yang banyak diperdebatkan. Namun perdebatan itu hanya terfokus pada masalah kuota 30 persen yang diterapkan dalam UU pemilu atau UU partai politik. Para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan di parpol, kalangan akademisi dan LSM nyaris semuanya setuju akan perlunya meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia.

Prof. Farida Nurland mengidentifikasi bererapa masalah dan kendala dalam partisipasi politik perempuan. Pertama, budaya Indonesia bersifat feodalistik dan patrialkal. Kedua, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan penafsiran yang konservatif tentang ajaran-ajaran agama. Ketiga, hegemoni negara masih sangat dominan, hal ini tercermin pada lembaga-lembaga negara yang melestarikan budaya partriarkis di segala tingkatan. Dalam hal ini sangat terlihat bahwa kultur patriarki dan sistem politik yang ada menjadi diskriminatif terhadap kaum perempuan. Stereotip tentang perempuan dalam masyarakat Indonesia mendorong perempuan untuk menjadi lebih pasif dalam kehidupan publik, lebih banyak berada dalam aktifitas rumah tangga. Tantangan menjadi ganda saat stereotip seperti ini terpelihara oleh Negara dengan perangkat hukum dan kebijakan yang tidak terlalu menaruh perhatian pada kaum perempuan. Di satu sisi kaum perempuan harus melawan kultur patriarkis dan di sisi lain mereka harus melawan praktek diskriminatif dalam proses politik, baik dalam lembaga-lembaga legislatif ataupun di dalam partai politik.


Namun sebetulnya, ada yang lebih krusial daripada sekedar jumlah perempuan dalam institusi politik, parlemen dan partai politik. Substansi tentang kualitas dan kompetensi perempuan menjadi signifikan ketika jumlah perempuan tidak memberikan dampak yang memuaskan pada kehidupan kaum perempuan secara umum. Yang harus dipikirkan lebih jauh adalah tidak hanya sekedar memberikan porsi struktural dengan jatah sekian persen kepada kaum perempuan. Namun lebih dari itu, keterwakilan perempuan juga harus seimbang dengan produk kebijakan terhadap pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam memberikan ekspresi terhadap demokrasi.

Memperkuat partisipasi politik berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja, keompetensi dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan akibvat partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik.

Perjuangan gerakan perempuan untuk melancarkan advokasi kuota perempuan dalam institusi politik, baik di dalam lembaga legislatif maupun partai politik, yang terbuka sejak reformasi politik yang terjadi tahun 1998, akhirnya terakomodir dalam  pasal 65 UU 12/2003 tentang Pemilu DPR dan diperbaiki dalam UU 10/2008. Akhir-akhir ini keterwakilan perempuan mengalami kenaikan dari 11% (2004) menjadi 18% (2009). Namun angka ini masih jauh dari target terciptanya perimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam pembuatan keputusan. Kekuasaan perempuan dalam politik tetap rendah karena demokratisasi tidak terlalu berdampak pada perubahan distribusi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. 

Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan menjadi peserta pemilu. Pasal 53 UU tersebut mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.


Memang harus diakui bahwa jumlah politisi perempuan di parlemen Indonesia mencapai titik tertingginya dalam sejarah berkat inisiatif aksi afirmatif yang berhasil memaksakan sedikitnya 30% kursi DPR dan DPRD untuk perempuan, yang dimulai sejak tahun 2003. Saat ini, jumlah politisi perempuan menduduki 101 kursi DPR atau 18,03% dari jumlah total 650 anggota DPR RI. Ini merupakan kenaikan sejak pemilu 2004, ketika jumlah politisi perempuan di DPR mencapai 11,6%, sementara hasil pemilu 1999 baru mendudukkan 8,6% perempuan di DPR.

Meski demikian, banyak yang meragukan kalau kenaikan proporsi itu sejalan dengan semakin tingginya perhatian terhadap persoalan yang dihadapi perempuan di Indonesia. Masih banyak ditemukan kebijakan-kebijakan dari lembaga-lembaga politik, seperti DPR tidak memiliki keberpihakan pada hak dan kepentingan perempuan secara umum. Hal ini seolah membenarkan bahwa sebesar apapun proporsi yang diberikan kepada perempuan pada lembaga politik, masih belum ditunjang oleh kualitas dan kompetensi yang memadai, sehingga tidak memberikan dampak positif pada kehidupan sosial politik kaum perempuan.

Kemudian, tetap muncul kritik terhadap kebijakan yang mengharuskan proporsi politisi perempuan di DPR karena dianggap kebijakan ini tidak memiliki kriteria yang jelas. Karena ketiadaan criteria yang jelas inilah maka yang mungkin terjadi adalah sembarang perempuan bisa jadi politisi, tanpa pertimbangan kualitas dan kompetensi. Hal ini lah yang harus dicermati oleh para kaum perempuan sendiri dan para pengambil kebijakan yang memang mendukung keberpihakan terhadap pemberdayaan perempuan. Bahwa prestasi, kualitas dan kompetensi tetap harus selalu ditingkatkan dan melekat pada perempuan yang bergelut pada bidang sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan politik. Karena bagaimanapun, hal inilah yang memiliki dampak signifikan pada keberadaan perempuan itu sendiri pada panggung politik dan kepemimpinan dalam masyarakat.


Sulit untuk mewujudkan kemandirian dalam kehidupan sosial politik, lebih-lebih dalam hal kepemimpinan jika kaum perempuan hanya menunggu untuk diberikan hak-hak sosial dan politiknya, tanpa mau berjuang dan mengukir prestasi atas kemampuannya sendiri. Sulit, jika kaum perempuan tidak mau menempa diri memperbaiki kualitas dan kompetensi yang memang seharusnya dimiliki oleh orang, tidak peduli laki-laki atau perempuan, yang ingin berkiprah lebih banyak pada kehidupan sosial politik dan proses demokrasi. Dalam model demokrasi saat ini, dimana setiap perangkat aturan dan kesepakatan yang mengikat diperjuangkan di DPR, sudah saatnya kaum perempuan mulai membidik untuk menduduki kursi-kursi DPR, mulai dari level lokal hingga pusat. Dengan kualitas dan kompetensi yang dipersiapkan sebelumnya, akan lebih memudahkan kaum perempuan untuk berkiprah secara signifikan memperjuangkan hak dan kepentingan politiknya agar proses diskriminasi, marjinalisasi dalam sistem demokrasi dapat segera diminimalisir, dengan kekuatan sendiri, dengan prestasi mandiri. Majulah kaum perempuan Indonesia.





Kamis, 07 Maret 2013

Membangun Tradisi Politik Baru " Politik Oligarkhi dan Transaksional ? NO WAY !!
Rabu, 6 Maret 2013
@ FISIP - Universitas Lampung










Kamis, 31 Januari 2013

Kesetiakawanan Sosial Sebagai Jaring Pengaman & "Alarm Sosial"


Berita meninggalnya seorang bocah 11 tahun yang menjadi korban pemerkosaan oleh ayahnya sendiri, akibat infeksi otak yang juga diduga akibat kekerasan pukulan benda tumpul di kepalanya ini seperti menyengat pikiran, hati, moralitas dan nurani kita sebagai manusia.Bagaimana tidak, korban masih duduk di kelas 4 SD dan belum mengerti apapun yang terkait dengan hubungan seksual, diperkosa oleh ayahnya sendiri. Entah iblis apa yang merasuki ayahnya yang berperilaku lebih kejam dari binatang.

Hal ini seperti sebuah teguran bagi kita, yang merasa sebagai kaum terdidik dan beradab, bahwa ada sesuatu yang salah dalam peradaban bangsa ini. Nilai-nilai moral, norma agama dan etika kemasyarakatan sudah tidak lagi menjadi patokan dalam berkehidupan, baik secara individu maupun secara sosial. Hal ini sangat memperihatinkan dan membuat kening kita berkerut, akan seperti apa peradaban ke depan, di saat anak-anak dan cucu-cucu kita menjalani kehidupannya? Sangat sulit dibayangkan sebetulnya, hanya bisa berusaha dan berdoa agar bisa lebih baik dari apa yang kita jalani sekarang.

Terkait dengan itu, berdasarkan catatan Komnas PA, selama tahun 2012, pihaknya menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap tindakan kekerasan pada anak sebanyak 2.637 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual pada anak. Angka ini meningkat sekitar 5,9 persen dari kasus yang terjadi sepanjang tahun 2011, yang mencapai 2.509 kasus. Dari jumlah tersebut, 52 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak. Artinya, kasus  kekerasan seksual pada anak meningkat sebanyak 10 persen sepanjang tahun  2012 dibandingkan tahun 2011.


Meningkatnya kasus kekerasan anak, khususnya kekerasan seksual pada anak setiap tahun, membuat Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memprediksi kejahatan kemanusiaan pada anak akan semakin meningkat. Tidak hanya itu, Komnas PA menyatakan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak. Hal itu akan terjadi bila pemerintah hanya  berdiam diri terhadap kasus kekerasan seksual pada anak yang selalu  terjadi setiap tahunnya. Jadi tidak salah apabila Komnas PA menyatakan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak.

Ironisnya, menurut Komnas PA, Umumnya tindakan kekerasan pada anak atau tindakan kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang-orang terdekat anak tersebut. Kasus di atas menjadi salah satu contoh kasus di tahun ini. Komnas PA juga memprediksi ke bulan berikutnya akan semakin banyak anak menjadi korban.

Lalu bagaimana masyarakat seharusnya menyikapi hal ini? Sebagai masyarakat yang sangat memegang erat silaturahmi, memiliki karamahan dan semangat gotong royong yang tinggi, seharusnya keterikatan dan kewaspadaan sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat bisa dibangun dengan kuat. Bahwa saling mengawasi, saling melindungi di antara sesama anggota masyarakat seharusnya bisa dibangun dengan baik dan dapat menjadi jaring pengaman yang efektif terhadap penyakit-penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat. Ketidakpedulian dan individualism dalam masyarakat bisa direduksi dengan kembali mengedepankan kesetiakawanan sosial tersebut di dalam masyarakat.


Tidak bisa dipungkiri bahwa liberalisasi telah merasuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia, di mulai dari kota-kota besarnya. Liberalisasi yang bertopang pada individualism yang ketat dan rasa kesetiakawanan sosial yang rendah, mendorong ketidakpedulian di dalam masyarakat atas satu anggota masyarakat dengan yang lain. Sehingga ketika terjadi sesusatu pada satu anggota masyarakat, anggota masyarakat yang lain seakan tidak perduli dan menganggap bahwa itu bukan urusan yang lain. Padahal sesungguhnya, jika mereka mau sedikit saja berpikir, hal yang sama bisa saja terjadi pada diri mereka. Di sinilah kesetiakawanan sosial dan keterikatan sosial dalam sebuah masyakarat seharusnya diperkuat dan dikembangkan menjadi kewaspadaan sosial.

Untuk itu, sangatlah elok jika setiap pemimpin, formal maupun informal, bisa terus mendorong terus kesetiakawanan sosial ini menjadi isu bersama dan mampu menjadi tauladan dalam berkehidupan sosial. Karena apa yang terjadi di dalam kelompok-kelompok masyarakat, tidaklah lepas dari nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang dibangun serta diberlakukan di dalam masyarakat tersebut. Kesetiakawanan sosial dan kewaspadaaan sosial itu seharusnya bisa diimplementasikan menjadi sebuah sistem “alarm sosial” yang selalu menjaga keteraturan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, hingga pada hukuman sosial yang bisa diterapkan dalam kehidupan bersama tersebut yang bisa menjadi alat untuk mencegah dan memberikan efek jera terhadap para pelaku penyakit-penyakit sosial yang semakin menjangkiti masyarakat kita. 


Sistem alarm sosial ini bisa dibentuk dalam kelompok-kelompok masyarakat terkecil, misalnya pada lingkup Rukun Tetangga (RT). Sistem ini bisa terimplementasi misalnya dengan dibuatkan standar prosedur pelaporan dan penanganan jika setiap anggota masyarakat di dalam RT tersebut melihat, mendengar dan mengalami hal-hal yang di luar kewajaran dan melanggar nilai serta norma yang berlaku di lingkungan tersebut. Seperti misalnya pencurian, kekerasan, hingga bencana atau musibah yang di alami orang lain di dalam lingkungan tersebut. 

Kemudian hal ini juga harus didukung dengan kesigapan dan kepedulian aparat yang kuat, yang mau proaktif di dalam mensosialisasikan prosedur ini serta melakukan penanganan yang cepat jika memang terjadi hal-hal yang perlu untuk ditangani. Hal seperti ini bisa mencegah sejak dini kondisi yang tidak diinginkan terjadi pada setiap anggota masyarakat di lingkungan tersebut dan juga akan semakin memperkuat rasa kesetiakawanan sosial dan semakin memperkuat kewaspadaan sosial di dalam masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, kita sama-sama berusaha untuk bersama-sama memupuk rasa kesetiakawanan dan kewaspadaan sosial tersebut, dimulai dari diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat terdekat. Dan ini seharusnya menjadi perhatian bersama seluruh kelompok masyarakat sebagai sebuah komunitas hidup bersama untuk bisa menjalaninya dengan nyaman dan harmonis.