Kamis, 31 Januari 2013

Kesetiakawanan Sosial Sebagai Jaring Pengaman & "Alarm Sosial"


Berita meninggalnya seorang bocah 11 tahun yang menjadi korban pemerkosaan oleh ayahnya sendiri, akibat infeksi otak yang juga diduga akibat kekerasan pukulan benda tumpul di kepalanya ini seperti menyengat pikiran, hati, moralitas dan nurani kita sebagai manusia.Bagaimana tidak, korban masih duduk di kelas 4 SD dan belum mengerti apapun yang terkait dengan hubungan seksual, diperkosa oleh ayahnya sendiri. Entah iblis apa yang merasuki ayahnya yang berperilaku lebih kejam dari binatang.

Hal ini seperti sebuah teguran bagi kita, yang merasa sebagai kaum terdidik dan beradab, bahwa ada sesuatu yang salah dalam peradaban bangsa ini. Nilai-nilai moral, norma agama dan etika kemasyarakatan sudah tidak lagi menjadi patokan dalam berkehidupan, baik secara individu maupun secara sosial. Hal ini sangat memperihatinkan dan membuat kening kita berkerut, akan seperti apa peradaban ke depan, di saat anak-anak dan cucu-cucu kita menjalani kehidupannya? Sangat sulit dibayangkan sebetulnya, hanya bisa berusaha dan berdoa agar bisa lebih baik dari apa yang kita jalani sekarang.

Terkait dengan itu, berdasarkan catatan Komnas PA, selama tahun 2012, pihaknya menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap tindakan kekerasan pada anak sebanyak 2.637 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual pada anak. Angka ini meningkat sekitar 5,9 persen dari kasus yang terjadi sepanjang tahun 2011, yang mencapai 2.509 kasus. Dari jumlah tersebut, 52 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak. Artinya, kasus  kekerasan seksual pada anak meningkat sebanyak 10 persen sepanjang tahun  2012 dibandingkan tahun 2011.


Meningkatnya kasus kekerasan anak, khususnya kekerasan seksual pada anak setiap tahun, membuat Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memprediksi kejahatan kemanusiaan pada anak akan semakin meningkat. Tidak hanya itu, Komnas PA menyatakan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak. Hal itu akan terjadi bila pemerintah hanya  berdiam diri terhadap kasus kekerasan seksual pada anak yang selalu  terjadi setiap tahunnya. Jadi tidak salah apabila Komnas PA menyatakan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak.

Ironisnya, menurut Komnas PA, Umumnya tindakan kekerasan pada anak atau tindakan kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang-orang terdekat anak tersebut. Kasus di atas menjadi salah satu contoh kasus di tahun ini. Komnas PA juga memprediksi ke bulan berikutnya akan semakin banyak anak menjadi korban.

Lalu bagaimana masyarakat seharusnya menyikapi hal ini? Sebagai masyarakat yang sangat memegang erat silaturahmi, memiliki karamahan dan semangat gotong royong yang tinggi, seharusnya keterikatan dan kewaspadaan sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat bisa dibangun dengan kuat. Bahwa saling mengawasi, saling melindungi di antara sesama anggota masyarakat seharusnya bisa dibangun dengan baik dan dapat menjadi jaring pengaman yang efektif terhadap penyakit-penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat. Ketidakpedulian dan individualism dalam masyarakat bisa direduksi dengan kembali mengedepankan kesetiakawanan sosial tersebut di dalam masyarakat.


Tidak bisa dipungkiri bahwa liberalisasi telah merasuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia, di mulai dari kota-kota besarnya. Liberalisasi yang bertopang pada individualism yang ketat dan rasa kesetiakawanan sosial yang rendah, mendorong ketidakpedulian di dalam masyarakat atas satu anggota masyarakat dengan yang lain. Sehingga ketika terjadi sesusatu pada satu anggota masyarakat, anggota masyarakat yang lain seakan tidak perduli dan menganggap bahwa itu bukan urusan yang lain. Padahal sesungguhnya, jika mereka mau sedikit saja berpikir, hal yang sama bisa saja terjadi pada diri mereka. Di sinilah kesetiakawanan sosial dan keterikatan sosial dalam sebuah masyakarat seharusnya diperkuat dan dikembangkan menjadi kewaspadaan sosial.

Untuk itu, sangatlah elok jika setiap pemimpin, formal maupun informal, bisa terus mendorong terus kesetiakawanan sosial ini menjadi isu bersama dan mampu menjadi tauladan dalam berkehidupan sosial. Karena apa yang terjadi di dalam kelompok-kelompok masyarakat, tidaklah lepas dari nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang dibangun serta diberlakukan di dalam masyarakat tersebut. Kesetiakawanan sosial dan kewaspadaaan sosial itu seharusnya bisa diimplementasikan menjadi sebuah sistem “alarm sosial” yang selalu menjaga keteraturan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, hingga pada hukuman sosial yang bisa diterapkan dalam kehidupan bersama tersebut yang bisa menjadi alat untuk mencegah dan memberikan efek jera terhadap para pelaku penyakit-penyakit sosial yang semakin menjangkiti masyarakat kita. 


Sistem alarm sosial ini bisa dibentuk dalam kelompok-kelompok masyarakat terkecil, misalnya pada lingkup Rukun Tetangga (RT). Sistem ini bisa terimplementasi misalnya dengan dibuatkan standar prosedur pelaporan dan penanganan jika setiap anggota masyarakat di dalam RT tersebut melihat, mendengar dan mengalami hal-hal yang di luar kewajaran dan melanggar nilai serta norma yang berlaku di lingkungan tersebut. Seperti misalnya pencurian, kekerasan, hingga bencana atau musibah yang di alami orang lain di dalam lingkungan tersebut. 

Kemudian hal ini juga harus didukung dengan kesigapan dan kepedulian aparat yang kuat, yang mau proaktif di dalam mensosialisasikan prosedur ini serta melakukan penanganan yang cepat jika memang terjadi hal-hal yang perlu untuk ditangani. Hal seperti ini bisa mencegah sejak dini kondisi yang tidak diinginkan terjadi pada setiap anggota masyarakat di lingkungan tersebut dan juga akan semakin memperkuat rasa kesetiakawanan sosial dan semakin memperkuat kewaspadaan sosial di dalam masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, kita sama-sama berusaha untuk bersama-sama memupuk rasa kesetiakawanan dan kewaspadaan sosial tersebut, dimulai dari diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat terdekat. Dan ini seharusnya menjadi perhatian bersama seluruh kelompok masyarakat sebagai sebuah komunitas hidup bersama untuk bisa menjalaninya dengan nyaman dan harmonis.