Rabu, 03 April 2013

CALEG DPR- RI DAPIL 1 LAMPUNG

                                                    
                                                

Sabtu, 09 Maret 2013

Agenda Politik Perempuan: Merebut Kursi & Prestasi


Peran perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia selalu menarik untuk diperdebatkan. Apalagi dalam sebuah masyarakat yang memiliki sejarah budaya patriarki yang sangat kuat, peran dan partisipasi politik perempuan terasa perlu untuk terus didorong naik ke permukaan. Bagaimana stereotip terhadap perempuan sebagai kaum yang selalu dianggap lemah, tidak patut mengatur dan memimpin, tidak memerlukan pendidikan tinggi karena hanya akan berada di rumah, dan sebagainya itu mendegradasi dan terus menihilkan peran perempuan dalam kehidupan sosial politik dan kepemimpinan dalam masyarakat.

Partisipasi politik perempuan tersebut, seyogyanya tidak melulu harus dilekatkan dengan keterlibatan secara personifikasi kaum perempuan dalam sturuktur politik baik dalam sakala nasional maupun lokal.  Namun yang lebih subtantif yang harus dilihat adalah sejauh mana elektabilitas dari legitimasi konstutisional mampu mengakomodir hak-hak kaum perempuan, salah satu yang paling krusial dalam hal ini adalah hak memilih dan dipilih dalam struktur kehidupan sosial  politik masyarakat.

Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik selalu merupakan isu utama yang banyak diperdebatkan. Namun perdebatan itu hanya terfokus pada masalah kuota 30 persen yang diterapkan dalam UU pemilu atau UU partai politik. Para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan di parpol, kalangan akademisi dan LSM nyaris semuanya setuju akan perlunya meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia.

Prof. Farida Nurland mengidentifikasi bererapa masalah dan kendala dalam partisipasi politik perempuan. Pertama, budaya Indonesia bersifat feodalistik dan patrialkal. Kedua, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan penafsiran yang konservatif tentang ajaran-ajaran agama. Ketiga, hegemoni negara masih sangat dominan, hal ini tercermin pada lembaga-lembaga negara yang melestarikan budaya partriarkis di segala tingkatan. Dalam hal ini sangat terlihat bahwa kultur patriarki dan sistem politik yang ada menjadi diskriminatif terhadap kaum perempuan. Stereotip tentang perempuan dalam masyarakat Indonesia mendorong perempuan untuk menjadi lebih pasif dalam kehidupan publik, lebih banyak berada dalam aktifitas rumah tangga. Tantangan menjadi ganda saat stereotip seperti ini terpelihara oleh Negara dengan perangkat hukum dan kebijakan yang tidak terlalu menaruh perhatian pada kaum perempuan. Di satu sisi kaum perempuan harus melawan kultur patriarkis dan di sisi lain mereka harus melawan praktek diskriminatif dalam proses politik, baik dalam lembaga-lembaga legislatif ataupun di dalam partai politik.


Namun sebetulnya, ada yang lebih krusial daripada sekedar jumlah perempuan dalam institusi politik, parlemen dan partai politik. Substansi tentang kualitas dan kompetensi perempuan menjadi signifikan ketika jumlah perempuan tidak memberikan dampak yang memuaskan pada kehidupan kaum perempuan secara umum. Yang harus dipikirkan lebih jauh adalah tidak hanya sekedar memberikan porsi struktural dengan jatah sekian persen kepada kaum perempuan. Namun lebih dari itu, keterwakilan perempuan juga harus seimbang dengan produk kebijakan terhadap pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam memberikan ekspresi terhadap demokrasi.

Memperkuat partisipasi politik berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja, keompetensi dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan akibvat partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik.

Perjuangan gerakan perempuan untuk melancarkan advokasi kuota perempuan dalam institusi politik, baik di dalam lembaga legislatif maupun partai politik, yang terbuka sejak reformasi politik yang terjadi tahun 1998, akhirnya terakomodir dalam  pasal 65 UU 12/2003 tentang Pemilu DPR dan diperbaiki dalam UU 10/2008. Akhir-akhir ini keterwakilan perempuan mengalami kenaikan dari 11% (2004) menjadi 18% (2009). Namun angka ini masih jauh dari target terciptanya perimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam pembuatan keputusan. Kekuasaan perempuan dalam politik tetap rendah karena demokratisasi tidak terlalu berdampak pada perubahan distribusi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. 

Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan menjadi peserta pemilu. Pasal 53 UU tersebut mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.


Memang harus diakui bahwa jumlah politisi perempuan di parlemen Indonesia mencapai titik tertingginya dalam sejarah berkat inisiatif aksi afirmatif yang berhasil memaksakan sedikitnya 30% kursi DPR dan DPRD untuk perempuan, yang dimulai sejak tahun 2003. Saat ini, jumlah politisi perempuan menduduki 101 kursi DPR atau 18,03% dari jumlah total 650 anggota DPR RI. Ini merupakan kenaikan sejak pemilu 2004, ketika jumlah politisi perempuan di DPR mencapai 11,6%, sementara hasil pemilu 1999 baru mendudukkan 8,6% perempuan di DPR.

Meski demikian, banyak yang meragukan kalau kenaikan proporsi itu sejalan dengan semakin tingginya perhatian terhadap persoalan yang dihadapi perempuan di Indonesia. Masih banyak ditemukan kebijakan-kebijakan dari lembaga-lembaga politik, seperti DPR tidak memiliki keberpihakan pada hak dan kepentingan perempuan secara umum. Hal ini seolah membenarkan bahwa sebesar apapun proporsi yang diberikan kepada perempuan pada lembaga politik, masih belum ditunjang oleh kualitas dan kompetensi yang memadai, sehingga tidak memberikan dampak positif pada kehidupan sosial politik kaum perempuan.

Kemudian, tetap muncul kritik terhadap kebijakan yang mengharuskan proporsi politisi perempuan di DPR karena dianggap kebijakan ini tidak memiliki kriteria yang jelas. Karena ketiadaan criteria yang jelas inilah maka yang mungkin terjadi adalah sembarang perempuan bisa jadi politisi, tanpa pertimbangan kualitas dan kompetensi. Hal ini lah yang harus dicermati oleh para kaum perempuan sendiri dan para pengambil kebijakan yang memang mendukung keberpihakan terhadap pemberdayaan perempuan. Bahwa prestasi, kualitas dan kompetensi tetap harus selalu ditingkatkan dan melekat pada perempuan yang bergelut pada bidang sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan politik. Karena bagaimanapun, hal inilah yang memiliki dampak signifikan pada keberadaan perempuan itu sendiri pada panggung politik dan kepemimpinan dalam masyarakat.


Sulit untuk mewujudkan kemandirian dalam kehidupan sosial politik, lebih-lebih dalam hal kepemimpinan jika kaum perempuan hanya menunggu untuk diberikan hak-hak sosial dan politiknya, tanpa mau berjuang dan mengukir prestasi atas kemampuannya sendiri. Sulit, jika kaum perempuan tidak mau menempa diri memperbaiki kualitas dan kompetensi yang memang seharusnya dimiliki oleh orang, tidak peduli laki-laki atau perempuan, yang ingin berkiprah lebih banyak pada kehidupan sosial politik dan proses demokrasi. Dalam model demokrasi saat ini, dimana setiap perangkat aturan dan kesepakatan yang mengikat diperjuangkan di DPR, sudah saatnya kaum perempuan mulai membidik untuk menduduki kursi-kursi DPR, mulai dari level lokal hingga pusat. Dengan kualitas dan kompetensi yang dipersiapkan sebelumnya, akan lebih memudahkan kaum perempuan untuk berkiprah secara signifikan memperjuangkan hak dan kepentingan politiknya agar proses diskriminasi, marjinalisasi dalam sistem demokrasi dapat segera diminimalisir, dengan kekuatan sendiri, dengan prestasi mandiri. Majulah kaum perempuan Indonesia.





Kamis, 07 Maret 2013

Membangun Tradisi Politik Baru " Politik Oligarkhi dan Transaksional ? NO WAY !!
Rabu, 6 Maret 2013
@ FISIP - Universitas Lampung










Kamis, 31 Januari 2013

Kesetiakawanan Sosial Sebagai Jaring Pengaman & "Alarm Sosial"


Berita meninggalnya seorang bocah 11 tahun yang menjadi korban pemerkosaan oleh ayahnya sendiri, akibat infeksi otak yang juga diduga akibat kekerasan pukulan benda tumpul di kepalanya ini seperti menyengat pikiran, hati, moralitas dan nurani kita sebagai manusia.Bagaimana tidak, korban masih duduk di kelas 4 SD dan belum mengerti apapun yang terkait dengan hubungan seksual, diperkosa oleh ayahnya sendiri. Entah iblis apa yang merasuki ayahnya yang berperilaku lebih kejam dari binatang.

Hal ini seperti sebuah teguran bagi kita, yang merasa sebagai kaum terdidik dan beradab, bahwa ada sesuatu yang salah dalam peradaban bangsa ini. Nilai-nilai moral, norma agama dan etika kemasyarakatan sudah tidak lagi menjadi patokan dalam berkehidupan, baik secara individu maupun secara sosial. Hal ini sangat memperihatinkan dan membuat kening kita berkerut, akan seperti apa peradaban ke depan, di saat anak-anak dan cucu-cucu kita menjalani kehidupannya? Sangat sulit dibayangkan sebetulnya, hanya bisa berusaha dan berdoa agar bisa lebih baik dari apa yang kita jalani sekarang.

Terkait dengan itu, berdasarkan catatan Komnas PA, selama tahun 2012, pihaknya menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap tindakan kekerasan pada anak sebanyak 2.637 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual pada anak. Angka ini meningkat sekitar 5,9 persen dari kasus yang terjadi sepanjang tahun 2011, yang mencapai 2.509 kasus. Dari jumlah tersebut, 52 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak. Artinya, kasus  kekerasan seksual pada anak meningkat sebanyak 10 persen sepanjang tahun  2012 dibandingkan tahun 2011.


Meningkatnya kasus kekerasan anak, khususnya kekerasan seksual pada anak setiap tahun, membuat Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memprediksi kejahatan kemanusiaan pada anak akan semakin meningkat. Tidak hanya itu, Komnas PA menyatakan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak. Hal itu akan terjadi bila pemerintah hanya  berdiam diri terhadap kasus kekerasan seksual pada anak yang selalu  terjadi setiap tahunnya. Jadi tidak salah apabila Komnas PA menyatakan tahun 2013 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak.

Ironisnya, menurut Komnas PA, Umumnya tindakan kekerasan pada anak atau tindakan kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang-orang terdekat anak tersebut. Kasus di atas menjadi salah satu contoh kasus di tahun ini. Komnas PA juga memprediksi ke bulan berikutnya akan semakin banyak anak menjadi korban.

Lalu bagaimana masyarakat seharusnya menyikapi hal ini? Sebagai masyarakat yang sangat memegang erat silaturahmi, memiliki karamahan dan semangat gotong royong yang tinggi, seharusnya keterikatan dan kewaspadaan sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat bisa dibangun dengan kuat. Bahwa saling mengawasi, saling melindungi di antara sesama anggota masyarakat seharusnya bisa dibangun dengan baik dan dapat menjadi jaring pengaman yang efektif terhadap penyakit-penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat. Ketidakpedulian dan individualism dalam masyarakat bisa direduksi dengan kembali mengedepankan kesetiakawanan sosial tersebut di dalam masyarakat.


Tidak bisa dipungkiri bahwa liberalisasi telah merasuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia, di mulai dari kota-kota besarnya. Liberalisasi yang bertopang pada individualism yang ketat dan rasa kesetiakawanan sosial yang rendah, mendorong ketidakpedulian di dalam masyarakat atas satu anggota masyarakat dengan yang lain. Sehingga ketika terjadi sesusatu pada satu anggota masyarakat, anggota masyarakat yang lain seakan tidak perduli dan menganggap bahwa itu bukan urusan yang lain. Padahal sesungguhnya, jika mereka mau sedikit saja berpikir, hal yang sama bisa saja terjadi pada diri mereka. Di sinilah kesetiakawanan sosial dan keterikatan sosial dalam sebuah masyakarat seharusnya diperkuat dan dikembangkan menjadi kewaspadaan sosial.

Untuk itu, sangatlah elok jika setiap pemimpin, formal maupun informal, bisa terus mendorong terus kesetiakawanan sosial ini menjadi isu bersama dan mampu menjadi tauladan dalam berkehidupan sosial. Karena apa yang terjadi di dalam kelompok-kelompok masyarakat, tidaklah lepas dari nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang dibangun serta diberlakukan di dalam masyarakat tersebut. Kesetiakawanan sosial dan kewaspadaaan sosial itu seharusnya bisa diimplementasikan menjadi sebuah sistem “alarm sosial” yang selalu menjaga keteraturan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, hingga pada hukuman sosial yang bisa diterapkan dalam kehidupan bersama tersebut yang bisa menjadi alat untuk mencegah dan memberikan efek jera terhadap para pelaku penyakit-penyakit sosial yang semakin menjangkiti masyarakat kita. 


Sistem alarm sosial ini bisa dibentuk dalam kelompok-kelompok masyarakat terkecil, misalnya pada lingkup Rukun Tetangga (RT). Sistem ini bisa terimplementasi misalnya dengan dibuatkan standar prosedur pelaporan dan penanganan jika setiap anggota masyarakat di dalam RT tersebut melihat, mendengar dan mengalami hal-hal yang di luar kewajaran dan melanggar nilai serta norma yang berlaku di lingkungan tersebut. Seperti misalnya pencurian, kekerasan, hingga bencana atau musibah yang di alami orang lain di dalam lingkungan tersebut. 

Kemudian hal ini juga harus didukung dengan kesigapan dan kepedulian aparat yang kuat, yang mau proaktif di dalam mensosialisasikan prosedur ini serta melakukan penanganan yang cepat jika memang terjadi hal-hal yang perlu untuk ditangani. Hal seperti ini bisa mencegah sejak dini kondisi yang tidak diinginkan terjadi pada setiap anggota masyarakat di lingkungan tersebut dan juga akan semakin memperkuat rasa kesetiakawanan sosial dan semakin memperkuat kewaspadaan sosial di dalam masyarakat itu sendiri.

Untuk itu, kita sama-sama berusaha untuk bersama-sama memupuk rasa kesetiakawanan dan kewaspadaan sosial tersebut, dimulai dari diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat terdekat. Dan ini seharusnya menjadi perhatian bersama seluruh kelompok masyarakat sebagai sebuah komunitas hidup bersama untuk bisa menjalaninya dengan nyaman dan harmonis.

Rabu, 24 Oktober 2012

Agama Sebagai Komoditas Politik: Persoalan Etika dan Moral


Penggunaan agama sebagai salah satu alat berpolitik masih marak terjadi sekarang ini. Bukan hanya oleh lembaga-lembaga yang memiliki orientasi kegiatan keagamaan, namun juga oleh individu-individu, baik yang memang berada dalam lembaga keagamaan ataupun individu pemeluk agama. Terkadang, persoalan ini malah justru sering menyulut konflik di antara para pemeluk agama ataupun lembaga-lembaga keagamaan tertentu dan ahhirnya eskalasinya membesar dan menjadi konflik sosial.

Persoalan isu agama ini, ketika digunakan oleh seorang individu dalam konteks kegiatan politiknya, memang tidaklah melanggar hukum. Namun begitu, persoalan etika dan moral menjadi muncul dalam hal ini, terkait pada moral dan integritas yang bersangkutan, apalagi individu tersebut memang bergerak di ranah kehidupan sosial masyarakat dan politik. Apalagi yang kerap terjadi adalah inkonsistensi perbuatan yang dilakukan individu dengan pernyataan dan pemahaman keagamaan yang ditunjukkannya pada publik. Di sinilah persoalan etika dan moral tersebut muncul dan menjadi salah satu hal yang mendegradasi ideologi keagamaan dalam politik, baik secara individual maupun secara komunal, partai politik misalnya.

Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan praktek politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang, seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat sementara dan sesaat.

Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah. Tidak usah dalam hajatan besar, pada hajatan-hajatan politik kecil tertentu pun terkadang hal tersebut kerap kali terjadi. Misalnya dengan melakukan beberapa ritual agama tertentu sebelum terjadi sebuah proses kontestasi politik. Ataupun misalnya mencitrakan diri sebagai pemeluk agama tertentu, namun sebetulnya jiwa dan hatinya lebih kuat menganut agama yang lain. Ini menjadi persoalan karena menyangkut kredibilitas dan etika moral si individu tersebut.

Fenomena tentang agama di Indonesia yang kerap kali digunakan sebagai alat untuk mencari suara terbanyak dalam mencari suara sebanyak-banyaknya, memang bertujuan untuk merebut legitimasi kekuasaan dan politik yang lebih kuat. Secara hermeunitis pun sudah jelas tersirat bahwa agama itu berarti teratur. Dari arti tersebut tentunya agama ini telah menjadi sebuah alat yang mengatur wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Ketika agama ini dijadikan alat politik tentunya sifat yang sebenarnya ada dalam agama itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Agama hanya menjadi sebuah simbol yang bisa menarik sebanyak-banyaknya suara pemilih. Ketika seorang petinggi politik misalnya ingin menggunakan sebuah simbol agama mayoritas yang ada di Indonesia, kemungkinan besarnya dia betujuan untuk mendapat dukungan banyak dari penganut agama tersebut. Persoalan besar akan timbul ketika individu tersebut tidak secara konsisten melaksanakan ajaran-ajaran agama yang digunakannya tersebut dan malah menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut.

Di sisi inilah seharusnya para penggiat kegiatan sosial dan politik bisa diuji, apakah memang mereka mau memegang konsep etis dan moral dalam melakukan kegiatannya di ranah sosial dan politik tersebut, serta bertingkah laku secara konsisten dengan pernyataan-pernyataan dan apa yang ditunjukkan olehnya ke publik selama ini, baik dalam hal nilai-nilai yang diperjuangkannya maupun nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Sehingga politik dengan dasar etika dan moral yang universal bisa terus terpelihara dan tidak terdegradasi sebagai nilai perjuangan sosial dan politik, hanya karena para pelakunya tidak konsisten memegang nilai-nilai tersebut.

Konsistensi antara perbuatan dan tingkah laku dengan nilai moral dan etis yang dinyatakan telah dipegang teguh, harus menjadi acuan mereka dalam melakukan semua tindakan dan kegiatan mereka dalam berpolitik maupun segala macam kegiatan sosial sehari-hari. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai agama dan universal yang menjadi ukuran etis seseorang dalam berpolitik dan kehidupan sosialnya tidak terdegradasi menjadi komoditas politik semata yang justru memicu penolakan dari masyarakat untuk juga memegang teguh nilai dan etika tersebut sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sosial dan peradabannya.

Lampung Butuh Renstra Pendidikan


Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlakmulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sementara itu dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan,pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan terlahir manusia Indonesia yang mampu bersaing di era globalisasi bercirikan high competition. Tetapi ini akan terjadi jika pendidikan didukung oleh sarana dan prasaranan yang baik.

Sekolah yang  sejatinya sebagi tempat transfer ilmu dari para guru kepada murid sebaiknya menunjang pemberian ilmu tersebut dengan berusaha memberikan ilmu tersebut secara lengkap dan menyeluruh sesuai dengan kurukulum yang sedang berlaku.

Tapi sayangnya kondisi saat ini banyak sekolah terutama di daerah terpencil yang masih banyak dalam masalah. Pelayanan pendidikan baru dalam tahap sekedar ada saja. Salah satu masalah pendidikan di Lampung adalah terkait penyebaran tenaga pendidik yang tidak merata terutama untuk daerah-daerah terpencil. Hal ini harus segera dibenahi oleh institusi terkait dalam hal ini dinas pendidikan karena ini akan berpengaruh terhadap peningkatan pemerataan kualitas pendidikan.

Kasus terakhir terjadi di Lampung Selatan. Di salah satu sekolah dasar di desa Neglasari yang hanya memiliki dua guru yang berstatus pegawai negeri sipil. Fakta ini jelas menunjukkan bagaimana pelayanan pemerintah dalam pendidikan terutama bagi daerah terpencil masih kurang dirasakan.

Fakta di atas adalah situasi yang kontras dengan salah satu sasaran pembangunan daerah yaitu Meningkatkan ketersediaan sarana pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya sangat signifikan dalam mencapai kemajuan diberbagai bidang kehidupan.

Karena itu pemerintah daeerah memiliki kewajiban dalam memenuhi setiap kewajiban warga negara untuk memperolah pelayanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali baik itu masyarakat perkotaan maupun masyarakat di pedesaan yang terkecil.

Seperti yg telah diketahui bahwa alokasi dana anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2012 Provinsi Lampung hanya 10% dari total anggaran. Hal ini semua dikatakan karena kondisi keuangan Lampung belum mampu memenuhi ketentuan 20% anggaran pendidikan yang diamanatkan undang-undang. Dengan kata lain dana tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dunia pendidikan di Lampung saat ini. DPRD dan Pemprov Lampung sepakat APBD Lampung 2012 sebesar Rp2,809 triliun.

Sebesar Rp283 miliar lebih dialokasikan untuk pendidikan. Dinas Pendidikan mengelola kurang lebih Rp222 miliar, sisanya tersebar pada sembilan satuan kerja yang lain. Sebetulnya sudah ada peningkatan pengalokasian anggaran pendidikan dibanding tahun lalu. Pada APBD murni 2011 hanya menganggarkan 9% dari total jumlah dana yang ada atau sekitar Rp202 miliar. Namun peningkatan tersebut tidaklah terlalu memiliki hasil yang signifikan mengingat angka partisipasi sekolah pada pendidikan tingkat menengah belum mencapai angka 90%.

Mutu pendidikan yang baik hanya bisa dicapai dengan adanya tenaga penagajar yang memiliki kompetensi dan keahlian dibidangnya. Jika penyebaran tenaga pengajar masih kurang merata maka akan sulit tercapai kesamaan dalam proses belajar-mengajar. Ke depan, Dinas pendidikan harus bisa melakukan pemetaan dan melakukan pemerataan penyebaran guru-guru. Dengan begini maka sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pendidik akan diketahui dan bisa segera diambil solusinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, anehnya, sejak tahun 2005 hingga sekarang Lampung belum memiliki Rencana Strategis bidang pendidikan. Maka tak aneh jika indikator keberhasilan bidang pendidikan melorot terus menerus karena berjalannya proses pembangunan bidang pendidikan di Lampung tidak berdasarkan pada rencana strategis yang jelas dan terarah.

Berdasarkan data dari capaian kinerja pembangunan provinsi Lampung Tahun 2011, pada bidang pendidikan, kita bisa melihat bahwa angka tingkat partisipasi sekolah mencapai 98,7% jenjang SD, 86,62% jenjang SMP dan 51, 34% SMA. Dari data tersebut bisa kita simpulkan bahwa tingkat partisipasi tertinggi adalah pada Sekolah Dasar. 99% anak usia Sekolah Dasar di Provinsi Lampung bersekolah. Untuk anak usia SMP, 87% yang bersekolah dan 13% yang tidak bersekolah. Yang paling kecil adalah anak usia SMA, yaitu hanya 51% yang bersekolah dan ini berarti 49% anak usia SMA tidak bersekolah di Lampung.

Untuk kondisi ini mungkin yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi adalah Bantuan Operasional Sekolah pendamping dari provinsi segera digulirkan dan ditingkatkan hingga tingkat partisipasi sekolah anak usia SMA di Lampung bisa mencapai 90%. Dan penggunaannya tetap harus diawasi dengan ketat agar memang bisa tepat guna dan digunakan secara efektif dan efisien.

Yang lebih miris lagi ditemukan fakta bahwa Provinsi Lampung tidak memiliki peta fasilitas pendidikan yang merupakan gambaran nyata kondisi sekolah di masing-masing kecamatan di daerah itu. Karena itu, hingga saat ini kita mengalami kesulitan untuk tahu berapa kondisi dan jumlah sekolah yang ada pada suatu kecamatan di wilayah tertentu.  Kondisi ini menyebabkan Dinas Pendidikan (Disdik) Lampung seolah terkesan tidak pernah melakukan perbaikan terhadap bangunan fisik sekolah yang rusak, hingga mengorbankan proses belajar mengajar akibat kerusakan itu. Untuk itu Dinas Pendidikan Lampung harus memprioritaskan pemetaan tersebut untuk lebih memudahkan pencapaian target pemerataan pendidikan.

Fenomena yang ada selama ini memperlihatkan bahwa pemerintah telah melanggar akan kewajiban memenuhi hak memperoleh pendidikan warga negaranya, yang merupakan hak dasar yang diatur dalam hukum nasional dan hukum internasional. Masih banyak anak-anak di daerah jauh dari keterjangkauan kota yang belum mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, akibat tidak sampainya anggaran pendidikan ke tangan sekolah secara maksimal, ucapnya. Anggaran pendidikan yang dinaikkan kurang lebih Rp19 triliun secara nasional pada 2012, yaitu dari 266,9T tahun 2011 menjadi 286,6T tahun 2012, seharusnya dapat menjadi modal dasar untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Jadi rencana strategis bidang pendidikan menjadi sangat penting walaupun memang ini bukanlah alat mengatasi masalah pendidikan. Namun, dengan adanya rencana strategis pendidikan, masalah-masalah yang dihadapi tersebut bisa terpetakan dan langkah strategis pemecahan masalah dapat dilakukan tidak sporadis, tetapi tearah dan bertahapan.

Minggu, 15 Mei 2011

Renungan Sepulang Dari UNILA...

Renungan ini harusnya di renungkan di suatu waktu yang panjang di sertai dengan sesi diskusi yang interakif. Banyak point penting yang bisa di ambil dari kuliah umum di UNILA tadi oleh Bapak Ir. Aburizal Bakrie degan Tema "Kewirausahaan". Namun bukan point tersebut yang memberatkan kepala ini, tetap menjaga sikap sopan santun terhadap para tamu, padahal diri ini ingin berlari sebentar untuk menyendiri, merenung, dan berharap mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang muncul.

Belajar...Belajar...dan Belajar-lah...

Kata-kata itu di ucapkan kembali dan selalu lebih dari satu kali penyebutannya. Berulang kali pesan itu di sampaikan oleh Bapak Aburizal Bakrie di beberapa kesempatan, terutama apabila beliau hadir di forum-forum dimana yang menjadi target audience nya adalah pemuda, mahasiswa, atau pelajar. Namun, kenapa kata-kata 'Belajar' itu baru sangat mengganggu jiwa dan fikiran, sekarang?

Dalam kesempitan waktu, keterbatasan pengetahuan diri ini, saya berfikir...bahwa kata-kata sederhana tersebut, bukan-lah hal yang mudah untuk di lakukan, oleh kami yang muda-muda. 'Belajar' yang dimaksudkan bukan hanya belajar secara formal di sekolah, mendapatkan gelar sarjana, lulus sekolah dengan nilai terbaik, atau belajar dengan guru-guru formal dan membaca buku-buku pelajaran formal.

'Belajar' yang dimaksud oleh beliau adalah, belajar Hidup. Belajar untuk bertahan hidup dengan berjuang, bertekad kuat dengan akal budi dan tetap tawakal kepada Allah SWT. Untuk dapat belajar dari kehidupan membutuhkan suatu kerendahan hati. Untuk dapat belajar dari suatu hal yang menyakitkan/mengecewakan kita butuh ketenangan dan support secara moril dari keluarga, karena keluarga tidak akan meninggalkan kita sendiri. 

Kita akan mampu bersabar, apabila kita memiliki tekad yang kuat. Pengalaman adalah guru yang paling baik, sehingga kita harus mampu belajar dari kesalahan, kegagalan, dan kekecewaan yang kita alami dalam proses hidup kita.

Apakah pesan tersebut juga di sampaikan karena Pak Ical melihat, ada kekeurangan dalam sisi itu di kalangan generasi muda saat ini, well...andai memang seperti itu..., itu pula-lah yang saya lihat dan rasakan. Baik terhadap diri saya sendiri, maupun dengan melihat generasi muda lainnya. Mungkin karena kerendahan hati itu sudah menjadi sesuatu yang langka...

Aroem Alzier